Perusahaan retail yang ingin bertahan dalam lingkungan bisnis yang berubah cepat tidak bisa lagi bersandar pada pola manajemen yang menempatkan karyawan sebagai objek. Kita memang sudah mulai bergerak menuju budaya kerja yang lebih baik, namun perubahan yang tidak dijalankan secara konsisten berisiko hanya menjadi formalitas. Di titik ini, trust kepada karyawan harus ditempatkan sebagai elemen fundamental, bukan sekadar nilai yang dikutip dalam diskusi internal. Tanpa kepercayaan yang nyata—yang tercermin dalam cara perusahaan memberi ruang, mandat, dan wewenang—budaya kerja hanya akan menjadi ritual administratif tanpa dampak. Trust yang setengah-setengah tidak membangun apa pun; ia justru mempertahankan jarak dan menciptakan ketidakpastian di dalam organisasi.
Inklusivitas juga menuntut pemahaman yang lebih dalam daripada hanya “menerima perbedaan”. Inklusivitas adalah keberanian organisasi untuk mendengar, bukan hanya berbicara; untuk mempertimbangkan alternatif, bukan hanya menguatkan perspektif yang sudah mapan. Di titik ini, upaya menuju inklusivitas sudah terlihat, tetapi sering kali masih berhenti pada tataran konsep. Jika kita ingin benar-benar tumbuh, maka ruang diskusi harus diperluas agar suara yang selama ini berada di pinggir dapat menjadi bagian dari proses penentu arah perusahaan. Lingkungan yang inklusif bukan berarti semua pendapat harus diikuti, tetapi semua pendapat harus diberi kesempatan untuk dipertimbangkan secara serius.
Pelibatan karyawan dalam penyusunan kebijakan pada level tertentu adalah langkah krusial untuk mencegah keputusan yang tidak selaras dengan realitas. Organisasi yang hanya bergerak berdasarkan sudut pandang terbatas akan kesulitan memahami dinamika internal. Ketika karyawan diberi ruang untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan, perusahaan bukan hanya memperoleh insight yang lebih lengkap, tetapi juga membangun rasa memiliki yang tidak bisa dibeli dengan insentif jangka pendek. Loyalitas dan komitmen lahir dari hubungan yang setara dalam penghargaan, bukan dari instruksi satu arah.
Jika perusahaan benar-benar ingin membangun budaya baru yang kuat dan konsisten, maka trust dan inklusivitas tidak bisa lagi berhenti sebagai wacana—keduanya harus dijalankan secara nyata. Dan kalau kepercayaan serta keterlibatan karyawan belum sungguh-sungguh kita praktikkan, apa sebenarnya yang sedang kita bangun… masa depan organisasi, atau hanya memoles pola lama agar terlihat lebih rapi?
Wassalam
Hendra Wijaya
Discover more from hendrawijaya.net
Subscribe to get the latest posts sent to your email.